Pages

Monday, October 7, 2013

Pendakian Spiritual Menuju Pura Lempuyang

Jalan menuju Pura Sad Kahyangan Lempuyang menanjak dan berkelok-kelok.

Sampai di tempat parkir pura, hawa yang begitu sejuk menyambut seolah melepas penatnya perjalanan. Petualangan menuju pura baru saja akan dimulai. Sementara sibuk menyiapkan peralatan sembahyang, saya tidak lupa menyiapkan sebotol air mineral. Perjalanan pasti akan sangat melelahkan. Namun, satu hal yang mesti diiingat, “katanya” ketika  dalam pendakian menuju pura tak boleh bilang capek.
Logis saja. Ketika berpikir perjalanan melelahkan, masih jauh atau takkan sampai-sampai, maka para penangkil (umat yang akan bersembahyang di pura) akan menjadi semakin lelah dan kurang bersemangat.
Menapaki jalan aspal menanjak yang agak kasar, langkah-langkah kaki terasa berat. Ojek-ojek pun berkerumunan memburu para penangkil yang mungkin merasa kelelahan ataupun malas untuk jalan kaki.
Tiba di pura pertama yaitu Pura Penataran. Tangga-tangga menjulang tinggi menyambut kehadiran para penangkil. Namun, ketika sampai di Nista Mandala pura, woooww pemandangan begitu menakjubkan menunjukkan keelokannya. Diterangi sinar Sang Surya yang cerah, terlihat wilayah hutan Karangasem yang menghijau.
Bagian paling penting di sana bukan hutan itu tetapi gundukan tanah menjulang tinggi dibalut pepohonan hijau. Yaaa, itulah gunung tertinggi di Bali, Gunung Agung. Siapa pun yang memperoleh kesempatan menyaksikan pemandangan menakjubkan akan membuatnya berhenti sejenak, merasa kecil, bangga, syukur yang teramat sangat. Seolah bercengkerama dengan awan-awan yang mengelilinginya, Gunung Agung benar-benar menunjukkan keagungannya ketika itu.

 Semakin rendah di hadapan alam yang begitu besar, keangkuhan akan nikmat dan semaraknya duniawi serasa semakin memudar sembari menuntun menuju pemujaan kepada Hyang Widhi di Pura Penataran. Arsitektur yang megah, sebuah candi bentar dibalut batu putih seolah-olah memisahkan keduniawian para umat menuju Madya Mandala.
Bale memanjang di sisi kanan candi bentar dan sebuah bale yang lebih kecil di sisi kiri mempersilakan para penangkil yang merasa kelelahan untuk beristirahat  sejenak. Terlihat tiga buah kori putih menjulang tinggi dan beberapa ekor naga menjulur ke arah Madya Mandala.
Patung-patung denawa pun menyemarakkan megahnya gaya arsitektur di sini. Di pojok kiri berdiri sebuah bale kul-kul yang juga berwarna putih.
Menuju ke Utama Mandala tangga-tangga curam harus dilewati. Ketika menoleh ke belakang. Kemegahan Gunung Agung seolah mendorong dan menyemangati dari belakang. Dan sekali lagi siapa pun yang kembali menoleh ke arah barat akan berkata, “Waaaahhh, terlalu menakjubkan.”
Beberapa pelinggih berjejer di sebelah timur dan lebih sedikit di bagian utara. Beberapa berbentuk padmasana seperti pada umumnya. Seorang pemangku melakukan pemujaan, pemandangan yang sangat biasa kita saksikan di pura-pura.
Tetapi kali ini, persembahyangan dilakukan beberapa ratus meter di atas permukaan laut, kesempatan yang sangat jarang. Tenang, hening dan khusyuk.
Ketika selesai melakukan persembahyangn, wangsuhpada yang dingin sedikit akan mengejutkan badan. Menuju ke pura selanjutnya yaitu pura Telaga Mas, jalan aspal yang menanjak kembali mengiringi perjalanan.
 Warung-warung berjejeran di sepanjang jalan menuju tempat persembahyangan. Lebih enak jika santai sejenak, menikmati air mineral seraya menikmati keindahan alam alami. Menghela napas panjang sebelum menghaturkan bakti.
Jika beruntung dapat dijumpai beberapa monyet liar bergelantungan di dahan pohon. Mereka akan membuat keriuhan kecil. Lucu dan agak menakutkan, tapi cukup menghibur, dalam helaan napas tak teratur.
Suasana hening sejenak ketika semua terkonsentrasi pada satu, Hyang Widhi, diiringi gema suara genta, dan puja-puja mantra. Air suci pun dipercikan ketika persembahyangan telah usai. Ini baru seperlima dari perjalanan, dan jalanan becek denagn medan yang lebih berat masih tersedia di depan.
Selanjutnya saya melakukan persembahyangan di dua buah pura yang tak terlalu luas. Saya lupa nama puranya karena tak ada tulisan atau papan nama di depan pura. Itu tentu tak menjadi masalah, yang jelas sujud bakti yang ikhlas kepada-Nya.
Dalam perjalanan selanjutnya menuju pura Pasar Agung, tangga-tangga yang berjejer rapi membentuk irama menunggu untuk dilewati. Untungnya, ada pegangan besi yang membantu. Selalu ada warung ataupun pedagang asongan yang duduk-duduk di samping penangkil seolah menanti para penangkil haus atau bahkan lapar, di tengah perjalanan ini.
Satu buah pelinggih berbentuk padmasana berwarna putih terdapat di sini. Walaupun tak ada pemisah atau pagar yang memisahkan pura ini dengan jalan menuju Pura Luhur suasana persembahyangn tetap berlangsung dengan khusuk. Air wangsuhpada pun terasa semakin dingin saja.
Kini jalan menuju Pura Luhur kondisinya berbeda dengan jalan-jalan yang dilewati tadi. Lebih nyaman untuk berjalan karena ada batu-batu tipis yang tertata rapi sehingga perjalanan terasa lebih ringan. Namun, tak tertinggal tangga-tangga menanjak yang membuat kaki makin terasa pegal.
Sebuah tugu kecil bertuliskan Pura Sad Kahyangan Lempuyang Luhur menyambut. Ini merupakan pura terakhir dan pura yang paling utama. Tak terlalu luas memang, tapi suasana yang dihadirkan di puncak ini pun semakin terasa begitu tenang.

Menghadap ke Barat tepat di depan Candi Bentar, ujung Gunung Agung yang menjulang tinggi terlihat semakin memesona. Persembahyangan dimulai, angin puncak yang mendesir menyapa saraf-saraf yang semakin letih, tak dapat disangkal lagi inilah hawa sejuk istana Hyang Gni Jaya.
Terdapat dua buah pelinggih menghadap ke barat. Bentuknya hampir sama dengan pelinggih yang terdapat di Pura Pasar Agung, dan di Timur Laut terdapat Padmasana yang lebih tinggi. Uniknya di utama mandala pura ini tumbuh bambu yang di dalamnya terdapat air yang dipergunakan sebgai wangsuhpada. Adapun beberapa masyarakat yang nunas air suci ini untuk dibawa pulang.
Sungguh pendakian menakjubkan. Perjalanan begitu panjang dan melelahkan terhapus sudah oleh keindahan alam yang sulit akan ditemui di mana pun. Hal terpenting pencarian akan makna diri dan pendakian spiritual yang mewujudkan bakti umat ke hadapan yang satu Ida Sang Hyang Widhi Wasa

Tuesday, October 1, 2013

Tata Cara Melukat

















Pura Telaga Waja, Desa Kendran, Tegalalang.

Trayas trimsad devatas
Jugupur apsu-antah
[Atharva Veda XIX.27.10]

- Tiga-puluh-tiga [jumlahnya] dewata ada dalam air suci di alam dan melindungi umat manusia.


Keseluruhan alam semesta ini adalah rangkaian samudera energi [Prakriti] yang maha luas. Rig Veda menyebutkan, “Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” [dari materi asalnya energi dan dari energi asalnya materi]. Ini teori yang sama dengan teori E=mc2 yang ditulis oleh Einstein.  Pohon, batu, awan, gunung, dll, semuanya adalah serangkaian energi yang berwujud materi. Tubuh dan pikiran kita-pun juga serangkaian energi. Kita makan dan minum adalah manifestasi sederhana dari merubah materi [makanan dan minuman] menjadi energi.

Banyak orang yang bertanya-tanya mengapa perasaan mereka tidak tentram, gelisah, mudah marah, mudah mengantuk, mudah lelah, sakit kepala, mimpi-mimpi intens, sakit-sakitan, merasa kacau, dll. Ini semua disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan aliran energi dalam tubuh kita, dimana potensi energi untuk semua hal itu ada dalam diri kita. Sehingga kita perlu mencerai-beraikan energi-energi negatif yang menghambat di dalam diri kita melalui bantuan energi-energi alam semesta yang suci.

Melukat adalah salah satu ciri khas spiritualisme Hindu. Sebab melukat telah ada sejak jaman Veda, dimana dalam Veda sendiri tentang melukat ada dibahas dalam belasan sloka. Tapi dalam agama lain juga ada, seperti misalnya dalam tata cara Buddha di Tibet dan Kamboja.  Melukat adalah menerima pembersihan dan penyembuhan langsung dari Ibu pertiwi dan Bapak alam semesta. Medianya adalah air, karena air di alam berfungsi sebagai media penghantar dan sekaligus sumber vibrasi energi suci alam semesta yang sangat baik. Energi-energi negatif yang menghambat di dalam diri kita dicerai-beraikan, untuk kemudian diselaraskan dengan energi alam semesta yang suci. Fenomena ketidakseimbangan aliran energi ini sendiri bisa dideteksi sejak awal mula sekali, melalui kondisi kesehatan kita dan bagaimana riak-riak emosi dan perasaan kita sendiri.

Dalam Veda disebutkan bahwa tubuh dan pikiran kita ini sebuah sistem [bhuana alit] yang merupakan bagian dari maha-sistem [alam semesta/bhuana agung]. Semuanya saling mempengaruhi satu sama lain, melalui vibrasi-vibrasi yang tidak bisa kita lihat dengan mata, yang disebut vibrasi kosmik. Energi suci yang ada di alam semesta dapat mentransformasi kecenderungan negatif di dalam lapisan tubuh kita menjadi positif.

Di berbagai belahan dunia, "purification bath" atau melukat selalu dilakukan langsung berinteraksi dengan alam, agar alam semesta yang melakukan pemurnian. Tapi kalau di Bali ada juga melukat dilaksanakan melalui perantara oleh pandita, pemangku atau orang-orang tertentu seperti balian, dasaran, dll. Akan tetapi melukat seperti itu sangatlah ditentukan oleh tingkat kesiddhian dan kebersihan bathin orang yang melakukan penglukatan tersebut. Dan kita tidak tahu. Yang terbaik tetaplah pembersihan dan penyucian ini dilakukan langsung oleh alam semesta, karena alam semesta memiliki sifat memurnikan.

FAKTOR YANG MENENTUKAN

Ada empat faktor yang menentukan di dalam pelaksanaan melukat, yaitu :

1. Kebersihan bathin dan keseharian kita sendiri.

Analogi yang mungkin mendekati untuk bisa menjelaskan adalah : pikiran dan badan kita ini ibarat gelas yang akan menampung energi alam dan energi alam ibarat air yang akan mengisi gelas tersebut. Semakin bersih pikiran kita dari sad ripu, semakin besar ”gelas-nya”, sehingga semakin banyak energi suci alam yang bisa ”ditampung” dan hasilnya tentu semakin baik.

Tapi jangan khawatir bagi orang yang merasa bathin dan kesehariannya kurang bersih. Bagi orang yang tidak-tenang, gelisah, banyak marah, banyak benci, penuh nafsu, dll, justru melukat bisa sangat membantu menetralisir energi-energi negatif di dalam diri kita. Tapi dengan catatan hal ini harus dilakukan dengan benar dan rutin, sehingga melukat dapat menjadi hal yang sangat membantu meningkatkan pertumbuhan [evolusi] jiwa kita.

2. Lokasi.

Upahvare girinam samghate ca
Nadinam, dhiya vipro ajayata
[Rig Veda VIII.6.28]

-Di tempat-tempat yang hening, di gunung-gunung [daerah pegunungan] pada pertemuan dua buah sungai [campuhan], disanalah para maharsi mendapatkan pemikiran yang jernih [suci].

Tam u sucim sucayo didivansam
Apam napatam parithasthur apah
[Rig Veda II.35.3].

-Air suci murni yang mengalir, baik dari mata air maupun dari laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan.

Lokasi melukat sangatlah penting untuk kita perhatikan, baik secara niskala maupun sekala. Melukat harus dilaksanakan pada tiga lokasi titik air di alam yang terbaik, yaitu : sumber mata air dimana dijadikan tempat suci [misalnya : beji, pathirtan, dll], sungai suci atau pada campuhan [titik pertemuan dua buah sungai atau lebih] tertentu atau bisa juga di pantai [laut]. Lokasi-lokasi seperti ini umumnya memiliki vibrasi positif yang sangat kuat.

Ada dua hal yang sebaiknya kita perhatikan :

Secara niskala : sumber mata air, campuhan atau pantai tempat melukat, selayaknya dipilih yang memiliki vibrasi energi alam yang kuat. Akan tetapi tentunya hal ini tidak bisa dilihat oleh orang biasa secara kasat mata, hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang mata bathinnya sudah terbuka. Tapi seandainya kita orang biasa yang tidak tahu caranya, kita bisa mencoba berbagai tempat melukat terlebih dahulu. Lalu kita bisa memastikannya dengan merasakannya sendiri, lokasi mana yang paling bisa membuat bathin kita menjadi jernih dan sejuk.

Secara sekala : sumber mata air, campuhan atau pantai tempat melukat, harus memiliki air yang bersih atau jernih dan tidak tercemar. Karena hal ini juga ikut mempengaruhi kualitas air sebagai media perantara.




















Pura Mangening, Tampaksiring.

3. Tehnik.

Di bagian penjelasan tentang tehnik ini ada dua hal yang sebaiknya menjadi perhatian kita.

- Pertama : persembahyangan, sebelum melukat maupun setelah melukat.

Dimanapun kita melukat, kita sembahyang dahulu disana sebelum melukat. Kalau anda punya pejati bagus, tapi kalau tidak ada pejati dengan bekal satu canang dan dupa saja sudah cukup. Seandainya juga tidak ada canang dan dupa, bisa kita gantikan dengan mempersembahkan Gayatri Mantra.

Persembahyangan permohonan penyucian sebelum melukat sangat penting, karena kalau diberkahi, kualitas kesucian air akan meningkat tajam. Kita mohon kepada Hyang Acintya dan dewa-dewi yang berstana disana, agar melalui penglukatan tersebut badan dan pikiran kita dibersihkan dari segala energi negatif. Khusus untuk di laut, kita mohonkan kepada Hyang Acintya dan Hyang Baruna [Dewa Varuna].

Kemudian, setelah selesai melukat, kita kembali sembahyang mengucapkan terimakasih. Lebih baik lagi kalau dilanjutkan dengan meditasi.

- Kedua : Tanpa busana.

Ada dua latar belakang mengapa kita sebaiknya melukat tanpa sehelai benangpun.

-1. Karena sesungguhnya ketelanjangan sempurna memiliki energi pembebasan yang sangat besar-.

Ketika kita tanpa sehelai benang-pun, disana terjadi banyak sekali pelepasan energi-energi negatif yang menekan dan membebani bathin kita. Itulah rahasia-nya mengapa dalam berbagai tradisi spiritual hal ini banyak dilakukan. Misalnya di Jawa kita mengenal Tapa Wuda [meditasi yang dilakukan tanpa busana]. Juga di India para yogi himalaya [naga sadhu] dari salah satu sekte Shiva-Tantra, mahayogi bernama Mahavira dan para pertapa-pendeta dari Agama Jain, mereka semua bahkan terus menerus sepanjang waktu kemana-mana tanpa sehelai benangpun. Ketelanjangan abadi mereka tentu saja bukan porno, terutama karena porno hanyalah sebentuk pemikiran, akan tetapi sebaliknya karena dari ketelanjangan terdapat energi pembebasan yang sangat besar. Energi ini oleh alam semesta akan ditransformasikan menjadi energi positif bagi badan [menguatkan dan menyembuhkan badan fisik] dan energi positif bagi pikiran [membersihkan bathin dari kemarahan, dendam, iri hati, rasa inguh, kebencian dan pikiran gelap lainnya].

Dalam teks-teks Hindu ini disebut "avadhuta digambara", yang berarti "berpakaian langit [tanpa busana] yang suci". Tanpa penghalang apapun melekat di badan, sebagai penyatuan kosmik dengan keseluruhan alam semesta yang tak terukur batas-batasnya. Serta melepaskan banyak energi-energi negatif yang menekan bathin kita. Dari rasa takut menuju ketabahan, dari kemarahan menuju welas asih, dari kebencian menuju perdamaian, dari keinginan menuju pelepasan, dari kegelapan menuju penerangan. Dimana semuanya adalah satu manunggal tanpa batas. Kita bukanlah tubuh ini dan pikiran ini, melainkan semuanya adalah satu manunggal tanpa batas dalam kemahasucian semesta.

-2. Karena seluruh bagian dari badan, termasuk bagian yang tersembunyi, semuanya harus berinteraksi langsung dengan air tanpa halangan. Sehingga proses pembersihan dapat terjadi sempurna

Seperti halnya alam semesta [bhuana agung], badan kita [bhuana alit] juga terbagi menjadi Tri Loka [tiga bagian]. Bhur Loka pada badan kita adalah bagian pusar ke bawah sampai ujung kaki. Bvah Loka pada badan kita adalah bagian leher ke bawah sampai pusar. Svah Loka pada badan kita adalah bagian leher keatas sampai ujung kepala. Di masing-masing bagian tersebut terdapat kekacauan simpul-simpul energi negatif yang ketiganya saling berhubungan satu sama lain. Pada Svah Loka titik pusat simpul energi negatif-nya terletak pada wilayah dahi, yang merupakan simpul energi dari kecenderungan pikiran atau persepsi pikiran kita. Pada Bvah Loka titik pusat simpul energi negatif-nya terletak pada wilayah dada, yang merupakan simpul energi dari emosi dan perasaan kita, seperti misalnya : rasa sedih, rasa senang, rasa marah, rasa kecewa, dll. Pada Bhur Loka titik pusat simpul energi negatif-nya terletak pada wilayah antara kemaluan dan dubur, yang merupakan simpul energi dari kecenderungan binatang kita, seperti misalnya : tidak ada sifat welas asih, tega, kejam, serakah, mementingkan diri sendiri, penuh nafsu keinginan, suka berkelahi, bertengkar, iri hati, dll.

Sangat penting dalam proses pembersihan ini, seluruh bagian dari badan, termasuk bagian yang tersembunyi, semuanya harus berinteraksi langsung dengan air tanpa halangan. Itulah sebabnya dilakukan tanpa busana. Karena hanya dengan badan yang sepenuhnya terbuka, disana seluruh kekacauan simpul-simpul energi negatif yang ada pada ketiga loka pada lapisan-lapisan badan kita akan dibersihkan secara menyeluruh. Sehingga proses pembersihan ini efektif, dimana energi suci alam semesta terdistribusi dengan baik, dapat lebur menyatu dengan keseluruhan lapisan badan fisik dan lapisan badan halus kita.


Para pertapa asketik di India bersiap-siap melukat di Sungai Gangga.

Saat akan memulai melukat ucapkan mantra ini, tujukan mantra ini kepada air sambil memandang air yang mengalir itu :

Apo adyanv acarisam rasena sam agasmahi
Payasvan agna a gahi sam prayaya sam ayusa
[Rig Veda I.23.23]

-Sekarang kami menerjunkan diri ke dalam air ini, kami meleburkan diri manunggal dengan kekuatan yang mewujudkan air ini. Semoga kekuatan suci yang tersembunyi dalam air ini, menyucikan dan memberikan kekuatan suci kepada kami-.

Tepat sebelum melukat ucapkan mantra ini, tujukan mantra ini kepada air sambil memandang air yang mengalir itu :

Apo asman matarah sundhayantu
Ghrtena no ghrtapvah punantu
Visvam hi ripram pravahanti devir
Ud id abhyah sucir a puta emi
[Rig Veda X.17.10]

- Semoga air suci berkah alam semesta ini menyucikan diri kami sehingga kami bercahaya gemerlapan. Semoga diri kami dibersihkan oleh air suci ini. Semoga air suci ini melenyapkan segala kekotoran kami. Kami akan bangkit [dari kegelapan] dan memperoleh kesucian darinya-.

Saat melukat ucapkan mantram ini : Om manah sarira parisudhamàm swàha [semoga badan fisik dan badan pikiran hamba menjadi suci]. Kalau melukat di mata air, ucapkan mantram tersebut di setiap pancuran [masing-masing] sebelum kita membasahi rambut, membersihkan seluruh bagian badan dan sebelum meminum airnya tiga kali. Kalau melukat di campuhan atau laut, ucapkan mantram tersebut sama juga sebelum kita membersihkan diri, tapi tidak usah meminum airnya. Lebih baik lagi kalau proses melukat ini [terutama di mata air dan campuhan], kita lakukan juga sambil mandi dan keramas [dengan sabun dan shampoo]. Sama dengan apa yang tertulis dalam Veda :

Jalasena–abhi sincata
Jalasena-upa sincata
[Atharva Veda VI.57.2]

-Mandilah seperti biasa dan basahi seluruh bagian tubuh [terkena air langsung] yang dipengaruhi [penyakit dan energi negatif] di dalam air suci-.

4. Waktu.

Sebenarnya waktu untuk melukat baik dan bisa dilakukan kapan saja setiap saat. Akan tetapi pada waktu-waktu tertentu vibrasi kosmik alam semesta lebih kuat dibandingkan hari-hari lainnya. Veda menyebutkan bahwa matahari mempengaruhi kepribadian kita dan bulan mempengaruhi pikiran kita. Kalender Bali dan Kalender Jawa [dengan dewasa ayu / hari baik-nya] sebenarnya adalah buku petunjuk yang selaras dengan Veda, yang diwariskan oleh tetua kita untuk kita semua, untuk bisa membantu kita mengenali hari-hari mana saja yang memiliki vibrasi alam yang kuat untuk kegiatan spiritual tertentu.

Salah satu pemilihan waktu [dimana vibrasi alam kuat] untuk melukat yang disarankan adalah pada saat Purnama, Purwani [satu hari sebelum dan sesudah purnama], Ngembak Geni [sehari setelah Nyepi], Banyu Pinaruh [sehari setelah hari raya Saraswati] dan Tilem [bulan mati], dll.

KESALAHPAHAMAN TENTANG MELUKAT

Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa melukat dapat menghapus dosa atau menghapus karma buruk. Pendapat ini kurang tepat, kalau dilakukan dengan cara yang tepat sesuai penjelasan diatas melukat mungkin bisa menghapus sebagian kecil karma buruk, tapi hukum karma hanya bisa berhenti [terhapus semua] ketika kita sudah mengalami moksha [pembebasan sempurna].

Melukat lebih kepada proses untuk membersihkan kekacauan simpul-simpul energi-energi negatif dari dalam diri kita dengan bantuan alam semesta. Sehingga lapisan-lapisan badan kita dibersihkan menjadi lebih segar-seimbang dan dan pikiran kita juga dibersihkan bertransformasi menjadi lebih baik dan terang. Terutama bila kita melakukannya secara tekun dan rutin, misalnya rutin setiap purnama dan tilem dan harus dilakukan dengan cara yang tepat sesuai penjelasan diatas.

Sebenarnya setiap hari para dewa-dewi dan alam semesta ingin menuangkan air suci yang berkelimpahan ke bathin kita. Sayangnya kebanyakan orang tidak sadar dan tidak nyambung dengan hal ini karena kebanyakan orang [ibarat gelas], gelas jiwa dan badannya ditinggikan dan ada sebagian orang gelas jiwa dan badannya ditutup. Ketika gelasnya direndahkan dan dibuka, maka disanalah air suci semesta yang memurnikan diri bisa masuk ke dalam jiwa.

( sumber : Rumah Dharma – Hindu Indonesia )


**Bagi saudara sedharma yg ingin melakukan perjalanan suci (tirtayatra) atau melakukan penglukatan ke beji-beji di Bali, silahkan hubungi kami di nomor 081338541173 / 081934338855. Kami siap menjemput ke alamat saudara dan mengantar kembali ke alamat saudara. Rahayu :-)

Thursday, August 29, 2013

Pura Mengening,

Tempat ''Melukat'' agar Terhindar dari ''Mala''

Hawa sejuk dan hening di kawasan Desa Pakraman Saraseda, Tampaksiring sangat diminati oleh pemedek yang tangkil ke Pura Mengening untuk mengaturkan sujud bakti ke hadapan Hyang Widi Wasa. Pura yang diempon 48 krama Saraseda ini juga dijadikan status cagar budaya oleh Pemprop Bali berdasarkan UU No.5/1985. Dipilihnya Pura Mengening menjadi salah satu situs cagar budaya dari sekian pura yang ada di Gianyar ini berawal dari ditemukannya sebuah gundukan yang menyerupai bukit di areal Pura Mengening. Bagaimana sejarah pura itu dan bagaimana pula makna bangunan peninggalan sejarah itu?







Masyarakat setempat memaknai gundukan itu sebagai pelinggih Prasada Agung. Dari penelitian Balai Arkeologi diinventarisasikan bahwa gundukan itu berbentuk kotak yang di bawahnya berisi sembilan lubang. Dengan penggalian yang dilakukan terus dari pihak peneliti akhirnya dalam lubang itu sendiri ditemukan sebuah arca dengan bentuk Lingga-Yoni.
Atas penemuan gundukan ini, masyarakat Sareseda sendiri sempat berseteru. Perbedaan pendapat itu bermula dari pembongkaran gundukan untuk dibuatkan pelinggih berupa meru. Sebagian masyarakat meginginkan tingkatan meru yang dibuat untuk pelinggih Batara Pura Mengening berbeda-beda jumlahnya. Hingga peneliti dari Balai Akeologi membandingkan gundukan yang terdapat di Pura Mengening ini dengan gundukan Gedong Songo yang ada di Jawa.
Perseteruan warga akhiranya selesai tatkala kantor Purbakala dengan berbagai pertimbangan termasuk dengan keberadaan pura yang telah ada sejak memasuki abad ke-11. Tempat suci yang dibangun untuk memuja beliau ini dibuatkan Meru Tumpang Tiga, yang bertempat di utama mandala. Hingga kini pelinggih Batara Pura Mengening yang disebut dengan Pelinggih Prasada Agung ini berupa Meru Tumpang Telu (tingkatan tiga).  
    
Sementara mengenai konsep Pura Mengening sendiri, terbagi dalam tri mandala. Di antaranya, Pura Mengening terdiri atas  nista mandala, madya mandala, dan utama mandala. Di areal Nista Mandala Pura Mengening ini sendiri terdapat sebuah Taman dengan Pancakatirtha. Taman ini sendiri merupakan tempat penyucian Ida Batara yang berstana di Pura Mengening. Selain itu di beberapa tempat juga terdapat beberapa pemijilan tirtha-tirtha yang biasa diambil oleh masyarakat untuk keperluan yadnya.
Untuk pemijilan tirtha-tirtha yang ada di areal nista mandala ini, menurut Bendesa Pakraman Sareseda Wayan Candra meliputi tirta keben, tirtha Sudamala, tirtha Melela, tirtha Soka, tirtha Megelung, tirtha Tunggang dan tirtha Telaga waja. Sedangkan untuk pemijilan tirtha di areal Taman Pancakatirtha meliputi tirtha Parisuda, tirtha Pengelukatan, tirtha Pengulapan, tirtha Keris dan tirtha Kamaning.
Bagi masyarakat yang ingin matirtha di pemijilan ini tidak diperkenankan untuk melakukan penjaya-jayaan lagi terhadap tirtha tersebut. Baik itu mereka dari kalangan Brahmana yang sudah walaka maupun meraga putus tidak diperkenankan. Berdasarkan kepercayaan, hal ini dilakukan untuk mencegah agar tirtha yang keluar dari dalam perut bumi sendiri menjadi surut dan menghilang.
Sementara itu, untuk di Madya Mandala sendiri terdapat beberapa bangunan seperti Bale Gong, Bale Kulkul, Bale Pegambahan dan Bale Pegat. Sedangkan di Utama Mandala terdapat beberpa pelinggih di antaranya Gedong Meru Tumpang Tiga yang merupakan tempat istana dari Ida Batara Prasada Agung, Gedong yang merupakan pelinggih Batara Gunung Kawi, Gedong Limas, pelinggih Batara Tirta Empul, Pemaruman, Bale Saka Ulu, pelinggih Batara Siwa, Bale Paselang, Bale Pecanangan dan Bale Penganteb.
Keberadaan Kahyangan Jagat Pura Mengening ini masih belum jelas. Bahkan, dalam Purana Pura Mengening Desa Tampaksiring tidak dicantumkan dengann jelas waktu dibangun pura tersebut. Menurut penuturan Wayan Candra yang didampingi oleh prajuru desa lainnya dan pemangku pura, keberadaan Pura Mengening ini sudah ada sejak Raja Masula-Masuli memerintah di Pejeng.
Raja Masula-Masuli ini sendiri mempunyai kisah tersendiri hingga sampai di Pejeng. Masula-Masuli sebelaumnya bernama I Sula dan I Suli. Keduanya ini adalah pasangan laki dan perempuan yang lahir dari troktokan nyuh gading di kawasan Besakih. I Sula dan I Suli kemudian diajak oleh I Sangkul Putih. Keberadaan I Sula dan I Suli ini membuat semua dewa-fewi turun kabeh untuk menyaksikan kedua anak tersebut. Bahkan, Dewi Bhyahpara dan Dewi Danu akhirnya meminta kepada Batara Jagatnatha agar Dukuh Sangkul Putih membawa I Sula dan I Suli ke Pejeng. Sampai di Pejeng oleh Sinuhun dibuatkan sebuah gelar Masula-Masuli. Nama ini diberikan berkaitan dengan kelahiran beliau yang lahir buncing (kembar).    
Pada masa pemerintahan Raja Masula-Masuli ini sendiri Pura Mengening ini hanya dilakukan beberapa perbaikan saja. Dengan menunjuk seorang arsitektur yang memang mengetahui konsep pura dan bangunan dengan konsep Hindu sebagaimana dianjurkan oleh Bhagawan Wiswa Karma. Raja Masula-Masuli menunjuk Empu Kuturan untuk melakukan perbaikan terhadap beberapa bangunan yang ada di Pura Mengening. Selain itu dalam pemerintahan Raja Masula-Masuli ditegaskan kembali nama yang berstana di pelinggih Prasada Agung ini dengan sebutan Ida Batara Hyang Maha Suci Nirmala.
Kesan Alami
Suasana di Pura Mengening yang berdekatan dengan Pura Tirta Empul sebelah utaranya, sebelah timur Pura Puncak Tegal dan Pura Merta Sari, sebelah selatan Pura Gunung Kawi dan sebelah barat Pura Penataran Saresidi dan Pura Sakenan Tampaksiring ini sangat kental dengan nuansa alami. Pura yang terletak di dataran rendah ini dengan jalan setapak berundak-undak yang dibeton sepanjang 50 meter mempunyai hawa ritual yang mendalam.
Di dekat areal Pura Mengening sendiri terdapat suatu permandian yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk melakukan pangelukatan. Menjelang hari raya tempat ini sangat penuh dengan warga yang ingin melukat, sehingga terhindar dari segala jenis mala.
Masyarakat pengempon Pura Mengening yang sangat menjaga keseimbangan niskala dan sekala ini baru saja melakukan sebuah ritual Musaba Purwaning Kasa. Sedangkan untuk piodalan di Pura Mengening ini jatuh setiap Soma Pon Sintha atau yang dikenal dengan rerahinan Soma Ribek.


***Bagi saudara sedharma yg ingin melakukan perjalanan suci (tirtayatra) atau melakukan penglukatan ke beji-beji di Bali, silahkan hubungi kami di nomor 081338541173 / 081934338855. Kami siap menjemput ke alamat saudara dan mengantar kembali ke alamat saudara. Rahayu :-)

Friday, August 23, 2013

Ajaibnya Air Untuk Melukat Di Desa Sebatu, Tegallalang Gianyar-Bali


Jika kita berkunjung ke kecamatan Tegallalang, kabupaten Gianyar dekat Ubud ( Bali ) untuk melihat indahnya sawah terasering, jangan lupa untuk berkunjung ke pura kawi sebatu. Pura sebatu cukup indah tidak kalah dengan pura Tirta Empul Tampak Siring. Di sana juga ada tempat pemandian untuk melukat. Namun yang ingin saya informasikan adalah tempat melukat lain yang tidak jauh dari pura kawi sebatu ini. Tempat melukat ini bukan.
 tempat wisata sebetulnya, Karena tempat pemandian melukat ini masih terkesan keramat. Jarang sekali ada pengunjung, lain halnya dengan Pura Tirta Empul ataupun Pura Gunung kawi Sebatu kecuali di hari hari tertentu seperti purnama kajeng kliwon ( penanggalan Bali ). Menurut penjaga tempat melukat tersebut di katakan, jika di hari tersebut tempat ini bisa lebih ramai daripada pura Kawi Sebatu ataupun Tirta Empul. Yang buat penasaran adalah tentang berubahnya warna air jika seseorang melukat/mandi di bawah air terjun kecil tersebut. Bilamana dalam diri orang yang mandi tersebut terdapat sesuatu hal yang negatif maka air akan berubah keruh keputihan. tergantung sebrapa seberapa besar hal negatif yang ada dalam diri seseorang tersebut. hal negatif ini biasanya berupa perbuatan magic seseorang atau perilaku orang tersebut. Untuk mencapai tempat tersebut kita harus berjalan kurang lebih tigapuluh meter dari parkir kemudian menuruni anak tangga yang cukup dalam. untuk kembalinya yang perlu tenaga ekstra, kalau tidak pernah olah raga di jamin terengah engah untuk mencapai atas. Sebelum seseorang melakukan melukat maka di haruskan berdoa terlebih dahulu untuk mohon berkat dalam melukat nantinya di pura kecil persis di atasnya pemandian. baru kemudian di perkenankan melukat. banyak dari pengunjung juga membawa uang kepeng untuk di buang di sana,membuang hal negatif. Airnya cukup dingin dan menyegarkan melebihi pemandian di Pura Sebatu atau Tirta Empul. Orang di luar agama hindupun boleh ikut melukat asal mengenakan kain dan sabuk seperti halnya orang orang  yang melukat di sana. Katanya para pengunjung yang sudah selesai melakukan melukat rasanya segar dan ringan tanpa beban. seolah olah lepas dari semua permasalahan.  Itu sih katanya, saya sendiri juga kurang tahu karena hanya cuci muka saja di bagian hilirnya. sebab saat kesana tak pernah bawa kain untuk melukat. anyway, jika anda juga penasaran dengan bisa berubahnya warna air tempat melukat, anda bisa berkungjung dan menyaksikan sendiri kebenaran itu.

Monday, August 5, 2013

Pura Prapat Agung

Kawasan tanah Bali bagian barat merupakan kawasan yang lumayan sebagai letak pura-pura besar  (kahyangan jagat) yang memagari tanah Bali. Tanah Bali bagian barat identik dengan Taman Nasional Bali Barat, di area inilah ada beberapa pura kahyangan jagat : Pura Segara Rupek, Pura Perapat Agung, Pura Pemuteran Jagat, Pura Pulaki, Pura Melanting, Pura Kerta Kawat dan pura-pura yang lainnya maka cocok amatlah tanah Bali disebut Pulau Seribu Pura.

 Bila suatu ketika anda (Umat Hindu) yang mengadakan perjalanan spiritual/ tirta yatra dengan tujuan Pura Segara Rupek, maka terlebih dahulu anda hendaknya mengunjungi/ngaturang bakti ke Pura Perapat Agung dengan suatu alasan bahwa, suatu ketika (di Desember 2012) saya mendapat informasi dari jero mangku di Pura Payogan bahwasanya : Pura Perapat Agung, Pura Payogan, Pura Taman Beji, dan Pura Segara Rupek adalah merupakan suatu paket.
 Sama halnya dengan bila kita hendak ke Segara Rupek (karena satu jurusan), kita mesti melewati jalan yang semi adventure/ jalan pake batu bukan hotmix /geladag (bhs. Bali) yang memasuki hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Bukan menakut-nakuti, bila kendaraan anda tidak fit serasa agak riskan bila melintasi jalan berbatu sepanjang plusminus 15 Km dari jalan utama  Gilimanuk-Seririt hingga ke Pura Segara Rupek dan Perapat Agung. Bila ban anda bocor sulit mendapat pertolongan. Yang memungkinkan menolong anda cumalah para kera, atau satwa-satwa TNBB yang lain.

Segara Rupek Selat Bali Yoga Semadi Dang Hyang Sidhimantra Leluhur Orang Bali

Pura Segara Rupek berada di ujung Barat Pulau Bali yaitu di Selat Bali. Dari sinilah sesungguhnya jarak terdekat antara Bali dan Tanah Jawa yang berada disebelah Baratnya. Ujung Barat daratan Bali tampak jelas diseberang dengan lokasi terkait diujung Timur tanah Jawa yang dinamakan Batu Dodol di Wilayah Banyuwangi Jawa Timur.

Kisah tentang pemisahan Bali dengan Jawa, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh, ceritanya adalah:
 Prasasti Pasek Berjo Selunglung menyuratkan bahwa Segara Rupek terbentuk setelah Dang Hyang Sidhimantra beryoga semadi memohon keselamatan seisi jagat termasuk untuk keselamatan putra tunggalnya yang bernama Manik Angkeran, yang dipersembahkan sebagai pengayah atau pekerja pembantu kepada Ida Betara Sanghyang Naga Basuki di Besakih, Bali.

Dalam Yoga Semadi kehadapan Sanghyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni sebagai Penguasa Samudra Raya, Dang Hyang Sidhimantra dititahkan supaya mengoreskan tongkat tiga kali ketanah, tepat di jalan ceking atau ruas jalan yang paling sempit. Akibat goresan tongkat tersebut, air laut terguncang, bergerak membelah bumi. Maka daratan tanah Bali dan Tanah Jawa yang satu itu pun terpisah oleh lautan. Jawa dan Bali pun terpisah, jadilah Segara Rupek atau Lautan Sempit yang kini dinamakan Selat Bali.

Dang Hyang Sidhimantra Keturunan Sapta Rsi

Sapta Rsi atau Tujuh Pandhita, adalah leluhur orang Bali dari kelompok Warga Pasek Sanak Pitu. Ke tujuh Resi yang menurunkan Pasek Sanak Pitu adalah : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Widnyana, Mpu Witadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka. Ke tujuh pandhita ini adalah putra-putra dari Mpu Agni Jaya yang berasrama di Gunung Lempuyang. Sebelumnya beliau bergelar Sang Brahmana Pandhita. Beliau besaudara lima, yaitu Sang Brahmana Pandhita sendiri, Mpu Semeru yang berasrama di Besakih, Mpu Gana di Gelgel, Mpu Kuturan di Silayukti dan Mpu Bradah di Kahuripan. Kelima Pandhita tersebut diatas disebut Panca Tritha. Kelima Pandhita itu adalah putra-putra Bhatara Hyang Agni Jaya yang beristhana di Gunung Lempuyang.

Sedangkan Bhatara Agni Jaya adalah putra dari Sanghyang Pasupati, yaitu Ida Hyang Widhi, yang bersthana di Gunung Mahameru India. Bhatara Hyang Agni Jaya adalah termasuk Asta Dewata, yang dianggap sebagai putra-putra Hyang Pasupati. Asta Dewata itu adalah :1.Bhatara Mahadewa bersthana di Gunung Agung, 2.Bhatara Hyang Putra Jaya juga bersthana di Gunung Agung, 3. Bhatara Danuh di Ulun Danu Batur, 4. Bhatara Hyang Agni Jaya sendiri bersthana di gunung Lempuyang, 5. Bhatara Tumuwuh bersthana di Gunung Batukaru, 6. Bhatara Manik Gumayang bersthana di Pejeng, 7. Bhatara Manik Galang bersthana di Pejeng, 8. Bhatara Hyang Tugu di Bukit Andakasa.

Tampak sekali dalam uraian diatas, bahwa setelah Panca Pandhita keatas lalu dihubungkan dengan Dewa-dewa manifestasinya Tuhan (Asta Dewata). Hal ini membuktikan bahwa leluhur diatas itu tidak dapat dilacak lagi. Namun kendati pun demikian, pengkaitan dengan asta dewata lalu kepada Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Mahameru, adalah merupakan petunjuk bahwa leluhur Panca Tirtha itu adalah berasal dari para Brahmana India, dari sekte keagamaan Siva (mazab Siva). Dan Pandhita-pandhita yang datang ke Indonesia dari India itu adalah dari Garis Perguruan (Pasramaan) Maharkandya dan Agastya. Boleh jadi Panca Pandhita itu leluhurnya adalah garis perguruan Agastya, sebagai pusat pengajaran mazab Siva.

Panca Pandita itu, konon mereka berguru ke India setelah selesai pendidikannya dan setelah didiksa mereka kembali ke Indonesia. Di Jawa mula-mula mereka mengajarkan agamanya. Kemudian setelah Mahendradatta kawin ke Bali, empat dari lima saudara itu pun ikut turun ke Bali untuk mengajarkan Agama Hindu. Berturut-turut datang ke Bali :

1. Mpu Semeru. Beliau adalah pemeluk sekte Siva, beliau datang ke Bali tahun 999 Masehi, beliau membuat pasraman di Besakih.

2. Mpu Ghana, penganut aliran Ghanapatya (sub sekte Siva). Beliau sampai di Bali pada tahun 1000 Masehi. Beliau mendirikan Pasraman di Gelgel.

3. Mpu Kuturan pengikut sekte Tantrayana (sumber lain mengatakan Buddha Mahayana). Beliau datang ke Bali pada tahun 991 Masehi. Di Bali beliau menjadi Brahmarsi dengan berasrama di Silayukti Padang.

4. Mpu Gni Jaya. Beliau ke Bali tahun 1006 Masehi. Beliau berparahyangan di Gunung Lempuyang. Beliau adalah penganut Sekte Brahmanisme. Di tempat bekas Pasraman beliau sekarang telah berdiri sebuah pura Lempuyang Madia.

Mpu Bradah tidak ikut ke Bali. Beliau menetap di Jawa, mendampingi Prabhu Airlangga.Di Bali Mpu Agni Jayalah yang menjadi leluhur langsung Warga Pasek Sanak Pitu, melalui putra-putra beliau Sanak Sapta Rsi.

Mpu Bradah adalah saudara terkecil dari lima Rsi. Beliau tinggal di Jawa menjadi Bhagawannya Prabhu Airlangga. Beliau berasrama di Lemah Tulis, Pejarakan Jawa Timur. Beliau adalah pengikut Buddha Mahayana, sekte Bajrayana.

Mpu Bradah berputra dua orang, yaitu : Mpu Siwagandhu, dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratnamanggali putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah, menurunkan Mpu Wira Angsokanatha, yang bergelar Mpu Tantular.

Mpu Tantular berputra 4 orang, yaitu : 1 Mpu Siddhimantra, 2. Mpu Panawasikan, 3. Mpu Smaranatha dan 4. Danghyang Kepakisan. Rupa-rupanya ke empat Mpu ini telah lahir pada jaman Singosari. Dan Mpu Tantular betul-betul umurnya sangat panjang. Mungkin mencapai seratus tahun lebih.

Dalam garis keturunan ini Mpu Sidhimantra hanya berputra seorang, yaitu Wang Bang Manik Angkeran. Ketika mudanya Manik Angkeran gemar berjudi sabungan ayam. Oleh karena itu ia diasramakan di Besakih untuk menghamba Hyang Besuki yang berwujud Naga. Ia pun mengambil genta ayahnya. Lalu di rapalkan Veda Nagastawa. Maka keluarlah Hyang Besuki. Pada puncak ekornya terdapat manik yang sangat gemerlapan, Wang Bang Manik Angkeran yang bebotoh, tergiur hatinya ingin memiliki manik itu, yang nantinya akan dijual. Maka dipotonglah ekor Naga Basuki itu. Hyang Basuki pun menjadi marah, lalu tubuh Wang Bang Manik Angkeran dijilatnya. Seketika Wang Bang Manik Angkeran menjadi abu. Hal ini segera diketahui oleh ayahnya. Mpu Sidhimantra dengan kesidiannya dapat menyambung ekor naga Basuki itu. Dan Wang Bang Manik Angkeran pun dihidupkan kembali. Akhirnya Manik Angkeran pun bertobat. Sejak itu Manik Angkeran berhenti berjudi, lalu menekuni bidang agama. Kemudian ia mediksa atau disucikan menjadi Mpu dengan gelar Danghyang Manik Angkeran. Beliau beristri dua. Seorang Widyadari dan seorang lagi dari warga biasa.

Keturunan Wang Bang Manik Angkeran sekarang tersebar di Bali, adalah generasi penerus Dang Hyang Sidhimantra pencipta Segara Rupek Selat Bali. Secara sosiologi pemisahan Bali-Jawa di Segara Rupek dimaksudkan oleh Dang Hyang Sidhimantra justru guna memproteksi kesucian Bali dari ancaman migrasi penduduk berlebihan, disamping untuk menekan angka tindak kriminal.