Pages

Thursday, August 29, 2013

Pura Mengening,

Tempat ''Melukat'' agar Terhindar dari ''Mala''

Hawa sejuk dan hening di kawasan Desa Pakraman Saraseda, Tampaksiring sangat diminati oleh pemedek yang tangkil ke Pura Mengening untuk mengaturkan sujud bakti ke hadapan Hyang Widi Wasa. Pura yang diempon 48 krama Saraseda ini juga dijadikan status cagar budaya oleh Pemprop Bali berdasarkan UU No.5/1985. Dipilihnya Pura Mengening menjadi salah satu situs cagar budaya dari sekian pura yang ada di Gianyar ini berawal dari ditemukannya sebuah gundukan yang menyerupai bukit di areal Pura Mengening. Bagaimana sejarah pura itu dan bagaimana pula makna bangunan peninggalan sejarah itu?







Masyarakat setempat memaknai gundukan itu sebagai pelinggih Prasada Agung. Dari penelitian Balai Arkeologi diinventarisasikan bahwa gundukan itu berbentuk kotak yang di bawahnya berisi sembilan lubang. Dengan penggalian yang dilakukan terus dari pihak peneliti akhirnya dalam lubang itu sendiri ditemukan sebuah arca dengan bentuk Lingga-Yoni.
Atas penemuan gundukan ini, masyarakat Sareseda sendiri sempat berseteru. Perbedaan pendapat itu bermula dari pembongkaran gundukan untuk dibuatkan pelinggih berupa meru. Sebagian masyarakat meginginkan tingkatan meru yang dibuat untuk pelinggih Batara Pura Mengening berbeda-beda jumlahnya. Hingga peneliti dari Balai Akeologi membandingkan gundukan yang terdapat di Pura Mengening ini dengan gundukan Gedong Songo yang ada di Jawa.
Perseteruan warga akhiranya selesai tatkala kantor Purbakala dengan berbagai pertimbangan termasuk dengan keberadaan pura yang telah ada sejak memasuki abad ke-11. Tempat suci yang dibangun untuk memuja beliau ini dibuatkan Meru Tumpang Tiga, yang bertempat di utama mandala. Hingga kini pelinggih Batara Pura Mengening yang disebut dengan Pelinggih Prasada Agung ini berupa Meru Tumpang Telu (tingkatan tiga).  
    
Sementara mengenai konsep Pura Mengening sendiri, terbagi dalam tri mandala. Di antaranya, Pura Mengening terdiri atas  nista mandala, madya mandala, dan utama mandala. Di areal Nista Mandala Pura Mengening ini sendiri terdapat sebuah Taman dengan Pancakatirtha. Taman ini sendiri merupakan tempat penyucian Ida Batara yang berstana di Pura Mengening. Selain itu di beberapa tempat juga terdapat beberapa pemijilan tirtha-tirtha yang biasa diambil oleh masyarakat untuk keperluan yadnya.
Untuk pemijilan tirtha-tirtha yang ada di areal nista mandala ini, menurut Bendesa Pakraman Sareseda Wayan Candra meliputi tirta keben, tirtha Sudamala, tirtha Melela, tirtha Soka, tirtha Megelung, tirtha Tunggang dan tirtha Telaga waja. Sedangkan untuk pemijilan tirtha di areal Taman Pancakatirtha meliputi tirtha Parisuda, tirtha Pengelukatan, tirtha Pengulapan, tirtha Keris dan tirtha Kamaning.
Bagi masyarakat yang ingin matirtha di pemijilan ini tidak diperkenankan untuk melakukan penjaya-jayaan lagi terhadap tirtha tersebut. Baik itu mereka dari kalangan Brahmana yang sudah walaka maupun meraga putus tidak diperkenankan. Berdasarkan kepercayaan, hal ini dilakukan untuk mencegah agar tirtha yang keluar dari dalam perut bumi sendiri menjadi surut dan menghilang.
Sementara itu, untuk di Madya Mandala sendiri terdapat beberapa bangunan seperti Bale Gong, Bale Kulkul, Bale Pegambahan dan Bale Pegat. Sedangkan di Utama Mandala terdapat beberpa pelinggih di antaranya Gedong Meru Tumpang Tiga yang merupakan tempat istana dari Ida Batara Prasada Agung, Gedong yang merupakan pelinggih Batara Gunung Kawi, Gedong Limas, pelinggih Batara Tirta Empul, Pemaruman, Bale Saka Ulu, pelinggih Batara Siwa, Bale Paselang, Bale Pecanangan dan Bale Penganteb.
Keberadaan Kahyangan Jagat Pura Mengening ini masih belum jelas. Bahkan, dalam Purana Pura Mengening Desa Tampaksiring tidak dicantumkan dengann jelas waktu dibangun pura tersebut. Menurut penuturan Wayan Candra yang didampingi oleh prajuru desa lainnya dan pemangku pura, keberadaan Pura Mengening ini sudah ada sejak Raja Masula-Masuli memerintah di Pejeng.
Raja Masula-Masuli ini sendiri mempunyai kisah tersendiri hingga sampai di Pejeng. Masula-Masuli sebelaumnya bernama I Sula dan I Suli. Keduanya ini adalah pasangan laki dan perempuan yang lahir dari troktokan nyuh gading di kawasan Besakih. I Sula dan I Suli kemudian diajak oleh I Sangkul Putih. Keberadaan I Sula dan I Suli ini membuat semua dewa-fewi turun kabeh untuk menyaksikan kedua anak tersebut. Bahkan, Dewi Bhyahpara dan Dewi Danu akhirnya meminta kepada Batara Jagatnatha agar Dukuh Sangkul Putih membawa I Sula dan I Suli ke Pejeng. Sampai di Pejeng oleh Sinuhun dibuatkan sebuah gelar Masula-Masuli. Nama ini diberikan berkaitan dengan kelahiran beliau yang lahir buncing (kembar).    
Pada masa pemerintahan Raja Masula-Masuli ini sendiri Pura Mengening ini hanya dilakukan beberapa perbaikan saja. Dengan menunjuk seorang arsitektur yang memang mengetahui konsep pura dan bangunan dengan konsep Hindu sebagaimana dianjurkan oleh Bhagawan Wiswa Karma. Raja Masula-Masuli menunjuk Empu Kuturan untuk melakukan perbaikan terhadap beberapa bangunan yang ada di Pura Mengening. Selain itu dalam pemerintahan Raja Masula-Masuli ditegaskan kembali nama yang berstana di pelinggih Prasada Agung ini dengan sebutan Ida Batara Hyang Maha Suci Nirmala.
Kesan Alami
Suasana di Pura Mengening yang berdekatan dengan Pura Tirta Empul sebelah utaranya, sebelah timur Pura Puncak Tegal dan Pura Merta Sari, sebelah selatan Pura Gunung Kawi dan sebelah barat Pura Penataran Saresidi dan Pura Sakenan Tampaksiring ini sangat kental dengan nuansa alami. Pura yang terletak di dataran rendah ini dengan jalan setapak berundak-undak yang dibeton sepanjang 50 meter mempunyai hawa ritual yang mendalam.
Di dekat areal Pura Mengening sendiri terdapat suatu permandian yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk melakukan pangelukatan. Menjelang hari raya tempat ini sangat penuh dengan warga yang ingin melukat, sehingga terhindar dari segala jenis mala.
Masyarakat pengempon Pura Mengening yang sangat menjaga keseimbangan niskala dan sekala ini baru saja melakukan sebuah ritual Musaba Purwaning Kasa. Sedangkan untuk piodalan di Pura Mengening ini jatuh setiap Soma Pon Sintha atau yang dikenal dengan rerahinan Soma Ribek.


***Bagi saudara sedharma yg ingin melakukan perjalanan suci (tirtayatra) atau melakukan penglukatan ke beji-beji di Bali, silahkan hubungi kami di nomor 081338541173 / 081934338855. Kami siap menjemput ke alamat saudara dan mengantar kembali ke alamat saudara. Rahayu :-)

Friday, August 23, 2013

Ajaibnya Air Untuk Melukat Di Desa Sebatu, Tegallalang Gianyar-Bali


Jika kita berkunjung ke kecamatan Tegallalang, kabupaten Gianyar dekat Ubud ( Bali ) untuk melihat indahnya sawah terasering, jangan lupa untuk berkunjung ke pura kawi sebatu. Pura sebatu cukup indah tidak kalah dengan pura Tirta Empul Tampak Siring. Di sana juga ada tempat pemandian untuk melukat. Namun yang ingin saya informasikan adalah tempat melukat lain yang tidak jauh dari pura kawi sebatu ini. Tempat melukat ini bukan.
 tempat wisata sebetulnya, Karena tempat pemandian melukat ini masih terkesan keramat. Jarang sekali ada pengunjung, lain halnya dengan Pura Tirta Empul ataupun Pura Gunung kawi Sebatu kecuali di hari hari tertentu seperti purnama kajeng kliwon ( penanggalan Bali ). Menurut penjaga tempat melukat tersebut di katakan, jika di hari tersebut tempat ini bisa lebih ramai daripada pura Kawi Sebatu ataupun Tirta Empul. Yang buat penasaran adalah tentang berubahnya warna air jika seseorang melukat/mandi di bawah air terjun kecil tersebut. Bilamana dalam diri orang yang mandi tersebut terdapat sesuatu hal yang negatif maka air akan berubah keruh keputihan. tergantung sebrapa seberapa besar hal negatif yang ada dalam diri seseorang tersebut. hal negatif ini biasanya berupa perbuatan magic seseorang atau perilaku orang tersebut. Untuk mencapai tempat tersebut kita harus berjalan kurang lebih tigapuluh meter dari parkir kemudian menuruni anak tangga yang cukup dalam. untuk kembalinya yang perlu tenaga ekstra, kalau tidak pernah olah raga di jamin terengah engah untuk mencapai atas. Sebelum seseorang melakukan melukat maka di haruskan berdoa terlebih dahulu untuk mohon berkat dalam melukat nantinya di pura kecil persis di atasnya pemandian. baru kemudian di perkenankan melukat. banyak dari pengunjung juga membawa uang kepeng untuk di buang di sana,membuang hal negatif. Airnya cukup dingin dan menyegarkan melebihi pemandian di Pura Sebatu atau Tirta Empul. Orang di luar agama hindupun boleh ikut melukat asal mengenakan kain dan sabuk seperti halnya orang orang  yang melukat di sana. Katanya para pengunjung yang sudah selesai melakukan melukat rasanya segar dan ringan tanpa beban. seolah olah lepas dari semua permasalahan.  Itu sih katanya, saya sendiri juga kurang tahu karena hanya cuci muka saja di bagian hilirnya. sebab saat kesana tak pernah bawa kain untuk melukat. anyway, jika anda juga penasaran dengan bisa berubahnya warna air tempat melukat, anda bisa berkungjung dan menyaksikan sendiri kebenaran itu.

Monday, August 5, 2013

Pura Prapat Agung

Kawasan tanah Bali bagian barat merupakan kawasan yang lumayan sebagai letak pura-pura besar  (kahyangan jagat) yang memagari tanah Bali. Tanah Bali bagian barat identik dengan Taman Nasional Bali Barat, di area inilah ada beberapa pura kahyangan jagat : Pura Segara Rupek, Pura Perapat Agung, Pura Pemuteran Jagat, Pura Pulaki, Pura Melanting, Pura Kerta Kawat dan pura-pura yang lainnya maka cocok amatlah tanah Bali disebut Pulau Seribu Pura.

 Bila suatu ketika anda (Umat Hindu) yang mengadakan perjalanan spiritual/ tirta yatra dengan tujuan Pura Segara Rupek, maka terlebih dahulu anda hendaknya mengunjungi/ngaturang bakti ke Pura Perapat Agung dengan suatu alasan bahwa, suatu ketika (di Desember 2012) saya mendapat informasi dari jero mangku di Pura Payogan bahwasanya : Pura Perapat Agung, Pura Payogan, Pura Taman Beji, dan Pura Segara Rupek adalah merupakan suatu paket.
 Sama halnya dengan bila kita hendak ke Segara Rupek (karena satu jurusan), kita mesti melewati jalan yang semi adventure/ jalan pake batu bukan hotmix /geladag (bhs. Bali) yang memasuki hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Bukan menakut-nakuti, bila kendaraan anda tidak fit serasa agak riskan bila melintasi jalan berbatu sepanjang plusminus 15 Km dari jalan utama  Gilimanuk-Seririt hingga ke Pura Segara Rupek dan Perapat Agung. Bila ban anda bocor sulit mendapat pertolongan. Yang memungkinkan menolong anda cumalah para kera, atau satwa-satwa TNBB yang lain.

Segara Rupek Selat Bali Yoga Semadi Dang Hyang Sidhimantra Leluhur Orang Bali

Pura Segara Rupek berada di ujung Barat Pulau Bali yaitu di Selat Bali. Dari sinilah sesungguhnya jarak terdekat antara Bali dan Tanah Jawa yang berada disebelah Baratnya. Ujung Barat daratan Bali tampak jelas diseberang dengan lokasi terkait diujung Timur tanah Jawa yang dinamakan Batu Dodol di Wilayah Banyuwangi Jawa Timur.

Kisah tentang pemisahan Bali dengan Jawa, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh, ceritanya adalah:
 Prasasti Pasek Berjo Selunglung menyuratkan bahwa Segara Rupek terbentuk setelah Dang Hyang Sidhimantra beryoga semadi memohon keselamatan seisi jagat termasuk untuk keselamatan putra tunggalnya yang bernama Manik Angkeran, yang dipersembahkan sebagai pengayah atau pekerja pembantu kepada Ida Betara Sanghyang Naga Basuki di Besakih, Bali.

Dalam Yoga Semadi kehadapan Sanghyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni sebagai Penguasa Samudra Raya, Dang Hyang Sidhimantra dititahkan supaya mengoreskan tongkat tiga kali ketanah, tepat di jalan ceking atau ruas jalan yang paling sempit. Akibat goresan tongkat tersebut, air laut terguncang, bergerak membelah bumi. Maka daratan tanah Bali dan Tanah Jawa yang satu itu pun terpisah oleh lautan. Jawa dan Bali pun terpisah, jadilah Segara Rupek atau Lautan Sempit yang kini dinamakan Selat Bali.

Dang Hyang Sidhimantra Keturunan Sapta Rsi

Sapta Rsi atau Tujuh Pandhita, adalah leluhur orang Bali dari kelompok Warga Pasek Sanak Pitu. Ke tujuh Resi yang menurunkan Pasek Sanak Pitu adalah : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Widnyana, Mpu Witadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka. Ke tujuh pandhita ini adalah putra-putra dari Mpu Agni Jaya yang berasrama di Gunung Lempuyang. Sebelumnya beliau bergelar Sang Brahmana Pandhita. Beliau besaudara lima, yaitu Sang Brahmana Pandhita sendiri, Mpu Semeru yang berasrama di Besakih, Mpu Gana di Gelgel, Mpu Kuturan di Silayukti dan Mpu Bradah di Kahuripan. Kelima Pandhita tersebut diatas disebut Panca Tritha. Kelima Pandhita itu adalah putra-putra Bhatara Hyang Agni Jaya yang beristhana di Gunung Lempuyang.

Sedangkan Bhatara Agni Jaya adalah putra dari Sanghyang Pasupati, yaitu Ida Hyang Widhi, yang bersthana di Gunung Mahameru India. Bhatara Hyang Agni Jaya adalah termasuk Asta Dewata, yang dianggap sebagai putra-putra Hyang Pasupati. Asta Dewata itu adalah :1.Bhatara Mahadewa bersthana di Gunung Agung, 2.Bhatara Hyang Putra Jaya juga bersthana di Gunung Agung, 3. Bhatara Danuh di Ulun Danu Batur, 4. Bhatara Hyang Agni Jaya sendiri bersthana di gunung Lempuyang, 5. Bhatara Tumuwuh bersthana di Gunung Batukaru, 6. Bhatara Manik Gumayang bersthana di Pejeng, 7. Bhatara Manik Galang bersthana di Pejeng, 8. Bhatara Hyang Tugu di Bukit Andakasa.

Tampak sekali dalam uraian diatas, bahwa setelah Panca Pandhita keatas lalu dihubungkan dengan Dewa-dewa manifestasinya Tuhan (Asta Dewata). Hal ini membuktikan bahwa leluhur diatas itu tidak dapat dilacak lagi. Namun kendati pun demikian, pengkaitan dengan asta dewata lalu kepada Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Mahameru, adalah merupakan petunjuk bahwa leluhur Panca Tirtha itu adalah berasal dari para Brahmana India, dari sekte keagamaan Siva (mazab Siva). Dan Pandhita-pandhita yang datang ke Indonesia dari India itu adalah dari Garis Perguruan (Pasramaan) Maharkandya dan Agastya. Boleh jadi Panca Pandhita itu leluhurnya adalah garis perguruan Agastya, sebagai pusat pengajaran mazab Siva.

Panca Pandita itu, konon mereka berguru ke India setelah selesai pendidikannya dan setelah didiksa mereka kembali ke Indonesia. Di Jawa mula-mula mereka mengajarkan agamanya. Kemudian setelah Mahendradatta kawin ke Bali, empat dari lima saudara itu pun ikut turun ke Bali untuk mengajarkan Agama Hindu. Berturut-turut datang ke Bali :

1. Mpu Semeru. Beliau adalah pemeluk sekte Siva, beliau datang ke Bali tahun 999 Masehi, beliau membuat pasraman di Besakih.

2. Mpu Ghana, penganut aliran Ghanapatya (sub sekte Siva). Beliau sampai di Bali pada tahun 1000 Masehi. Beliau mendirikan Pasraman di Gelgel.

3. Mpu Kuturan pengikut sekte Tantrayana (sumber lain mengatakan Buddha Mahayana). Beliau datang ke Bali pada tahun 991 Masehi. Di Bali beliau menjadi Brahmarsi dengan berasrama di Silayukti Padang.

4. Mpu Gni Jaya. Beliau ke Bali tahun 1006 Masehi. Beliau berparahyangan di Gunung Lempuyang. Beliau adalah penganut Sekte Brahmanisme. Di tempat bekas Pasraman beliau sekarang telah berdiri sebuah pura Lempuyang Madia.

Mpu Bradah tidak ikut ke Bali. Beliau menetap di Jawa, mendampingi Prabhu Airlangga.Di Bali Mpu Agni Jayalah yang menjadi leluhur langsung Warga Pasek Sanak Pitu, melalui putra-putra beliau Sanak Sapta Rsi.

Mpu Bradah adalah saudara terkecil dari lima Rsi. Beliau tinggal di Jawa menjadi Bhagawannya Prabhu Airlangga. Beliau berasrama di Lemah Tulis, Pejarakan Jawa Timur. Beliau adalah pengikut Buddha Mahayana, sekte Bajrayana.

Mpu Bradah berputra dua orang, yaitu : Mpu Siwagandhu, dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratnamanggali putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah, menurunkan Mpu Wira Angsokanatha, yang bergelar Mpu Tantular.

Mpu Tantular berputra 4 orang, yaitu : 1 Mpu Siddhimantra, 2. Mpu Panawasikan, 3. Mpu Smaranatha dan 4. Danghyang Kepakisan. Rupa-rupanya ke empat Mpu ini telah lahir pada jaman Singosari. Dan Mpu Tantular betul-betul umurnya sangat panjang. Mungkin mencapai seratus tahun lebih.

Dalam garis keturunan ini Mpu Sidhimantra hanya berputra seorang, yaitu Wang Bang Manik Angkeran. Ketika mudanya Manik Angkeran gemar berjudi sabungan ayam. Oleh karena itu ia diasramakan di Besakih untuk menghamba Hyang Besuki yang berwujud Naga. Ia pun mengambil genta ayahnya. Lalu di rapalkan Veda Nagastawa. Maka keluarlah Hyang Besuki. Pada puncak ekornya terdapat manik yang sangat gemerlapan, Wang Bang Manik Angkeran yang bebotoh, tergiur hatinya ingin memiliki manik itu, yang nantinya akan dijual. Maka dipotonglah ekor Naga Basuki itu. Hyang Basuki pun menjadi marah, lalu tubuh Wang Bang Manik Angkeran dijilatnya. Seketika Wang Bang Manik Angkeran menjadi abu. Hal ini segera diketahui oleh ayahnya. Mpu Sidhimantra dengan kesidiannya dapat menyambung ekor naga Basuki itu. Dan Wang Bang Manik Angkeran pun dihidupkan kembali. Akhirnya Manik Angkeran pun bertobat. Sejak itu Manik Angkeran berhenti berjudi, lalu menekuni bidang agama. Kemudian ia mediksa atau disucikan menjadi Mpu dengan gelar Danghyang Manik Angkeran. Beliau beristri dua. Seorang Widyadari dan seorang lagi dari warga biasa.

Keturunan Wang Bang Manik Angkeran sekarang tersebar di Bali, adalah generasi penerus Dang Hyang Sidhimantra pencipta Segara Rupek Selat Bali. Secara sosiologi pemisahan Bali-Jawa di Segara Rupek dimaksudkan oleh Dang Hyang Sidhimantra justru guna memproteksi kesucian Bali dari ancaman migrasi penduduk berlebihan, disamping untuk menekan angka tindak kriminal.