Pages

Saturday, December 5, 2015

Pura Segara Rupek

Menjaga Bali dari Segara Rupek TAK banyak yang tahu, ujung terjauh Bali di bagian barat bukanlah di Gilimanuk, melainkan di Segara Rupek. Dalam peta Pulau Bali, lokasi Segara Rupek ini tepat berada di ujung hidung Pulau Bali. Ini termasuk wilayah Kabupaten Buleleng. Dari sinilah sesungguhnya jarak dekat antara Bali dengan Jawa dan di sinilah secara historis menurut sumber-sumber susastra-babad, kisah pemisahan Bali dengan Jawa dimulai, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh dan unik. Bisa dimengerti apabila tak banyak orang tahu betapa penting dan strategis keberadaan Segara Rupek bagi Bali. Untuk mencapai Segara Rupek relatif tidak mudah, bila hendak menempuh jalan darat satu-satunya jalan yang bisa ditempuh mesti melewati jalan menuju ke Pura Prapat Agung dan dari lokasi Pura Prapat Agung ini masih harus dilanjutkan lagi menempuh perjalanan darat sekitar 5 km menelusuri hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Kondisi sarana, prasarana dan infrastruktur yang belum memadai demikian kiranya turut pula mempengaruhi Segara Rupek tidak mendapat perhatian semestinya, baik dari kalangan tokoh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan pemimpin di Bali. Di Segara Rupek hingga kini belum ada pelinggih sebagai tonggak atas suratan sejarah, padahal lokasi ini jelas-jelas menjadi babakan dan tonggak penting dalam sejarah Bali. Berdasarkan sumber susastra maupun berdasarkan keyakinan spiritual, saya menemukan bahwa lokasi Segara Rupek sudah sepatutnya diperhatikan sekaligus di-upahayu. Yang ada sejauh ini masih kurang layak. Menurut lontar Babad Arya Bang Pinatih, Empu Sidi Mantra beryoga semadi memohon kerahayuan seisi jagat kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni, Danghyang Sidimantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah, tepat di daerah ceking geting. Akibat goresan itu air laut pun terguncang, bergerak membelah bumi maka daratan Bali dan tanah Jawa yang semula satu itu pun terpisah oleh lautan, lautan itu dinamakan Selat Bali. Guna lebih mempertebal rasa bakti sesuai dengan sumber susastra, dan ikut juga mayadnya ngastitiang kerahayuan jagat Bali, bahkan seluruh wilayah Indonesia maka: ngatahun awehana uti; nista, madya, utama ayu jawa pulina mwang banten bali pulina suci linggih dewa, paripurna nusantara. Artinya: setahun sekali dilakukan upacara pakelem, banten dirgayusa bumi, tawur gentuh pada hari Anggara Umanis, Wuku Uye. Pujawali di Pura Segara Rupek jatuh pada setiap bulan purnama uku Jiesta.nyejer selama 11 hari.

Friday, October 16, 2015

Beji Dalem Sebatu.

Pura Sebatu, sungguh indah dan menarik, sangat berpotensi untuk dikembangkan pada konsep wisata spiritual. Pemandangan alam yang indah, air yang jernih dan suasana magis sungguh terasa begitu memasuki areal Pura Sebatu. Pura Sebatu juga merupakan Pura yang sangat keramat dan magis. Adapun sarana-sarana untuk penangkilan / melukat disini yaitu: 1.daksina pejati,terutama bagi mereka yang pertama kali melukat. 2.pejati yg dibawa hendaknya berisi pisang/biu kayu, berisi bunga tunjung warna bebas. 3.sarana muspa menggunakan kuangen dengan menggunakan bunga jempiring,sekar tunjung biru & pis bolong (uang bolong) 11 kepeng. 4.Pakaian yg di pakai nangkil yaitu pakaian adat bali, dimana pada saat melukat boleh hanya memakai kain kamen dan disarankan untuk tidak memakai perhiasan. tata cara melukat adalah sebagai berikut : 1.melakukan persembahyangan di pelinggih pura dalem pingit & kusti yang letaknya agak diatas dari tempat pesiraman,dengan menggunakan sarana kewangen. biasanya dipimpin oleh pemangku pada saat hari keagamaan spt purnama, kajeng kliwon, dsb. 2.usai sembahyang,kewangen yang ada uang kepengnya dibawa kelokasi melukat. caranya, kewangen di letakan di depan jidat atau ubun ubun seperti saat kita muspa, dengan membasahi kepala dan ubun ubun, setelah kepala basah lepas kewangan agar hanyut bersama air. 3.setelah selesai melukat,pemedek sembahyang sekali lagi di pelingih yang ada di dekat batu, sekalian nunas tirta dan bija. Keunikan dari tempat melukat di Sebatu ini adalah adanya perubahan warna air yang di pakai melukat setelah melalui badan kita, untuk orang yang memiliki penyakit biasanya airnya menjadi keruh (seperti air beras) . Disamping itu menurut pemangku setempat, Wanita yang lagi dapet tamu bulanan ( cuntaka ) dan anak kecil yang belum ketus gigi tidak diperbolehkan ikut melukat di tempat ini karena akan menangis terus menerus katanya. Jangan kaget bila pada saat melukat kita menjumpai ada penangkil yang nangklang-nengkleng seperti tarian rangda dan mengeluarkan suara suara seram atau aneh, bahkan banyak pula yang kerauhan, dan banyak lagi keanehan dan aura magis yang lainnya. Di areal paling ujung bagi pemedek yang sudah selesai melukat telah disiapkan tempat untuk ganti pakaian, kemudian pulang menyusuri jalan setapak yang penuh tanjakan dengan anak tangga yang sedikit licin namun tetap mengasikkan karena udaranya yang segar dengan diiringi kicauan burung mendayu.

Pedukuhan Siwa Bhuda.

Pedukuhan Siwa Bhuda .berada di desa Pujungan.Pupuan.Tabanan.Tepat di bawah kaki gunung Batukaru. suasan begitu tenang,sejuk dan penuh dengan aura positif.

Thursday, April 9, 2015

Ini pemandangan unik yang sering Anda lihat di berbagai gambar tentang Bali. Para perempuan Bali berkebaya putih berbaris panjang dengan susunan buah dan sesajen di atas kepalanya. Inilah tradisi Mapeed, perwujudan rasa syukur umat Hindu Bali kepada Yang Maha Kuasa. Bila Anda beruntung dan datang tepat 10 hari setelah Hari Raya Kuningan, ritual Mapeed bisa menjadi pengalaman yang menarik dalam liburan Anda. Dalam bahasa Indonesia, Mapeed memiliki arti berjalan beriringan. Ritual ini dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ritual ini peserta biasanya terdiri atas ibu-ibu rumah tangga yang menggunakan seragam berupa pakaian adat. Pada bagian rambut mereka ditata dengan sanggul. Kebaya khas Bali yang mereka gunakan pun memakai warna yang sama dan berbalut sarung khas perempuan Bali yang diikat dengan selendang pada bagian pinggang yang juga seragam. Selain itu, para peserta Mapeed ini juga ditemani oleh suami dan anak-anak mereka. Sanak keluarga yang ikut mengiringi perjalanan ritul Mapeed ini juga menggunakan pakaian adat Bali yang lengkap. Sampai saat ini ritual Mapeed masih terus dilakukan di Pura Adem Alas Kedaton, Kabupaten Tabanan, Bali. Ibu-ibu peserta Mapeed mengusung Gebongan dari banjar menuju Pura Dalem Alas Kedaton. Gebongan sendiri merupakan rangkaian buah dan sesajen yang disusun dalam tempat yang disebut Dulang. Uniknya, Dulang-dulang yang digunakan mempunyai tinggi rata-rata 1 meter. Setelah tersusun dengan apik, Gebongan pun mulai di "suun" atau mengusung di atas kepala masing-masing peserta. Kamudian, Gebongan-gebongan tersebut dibawa menuju ke pura. Sesampainya di pura, Gebongan yang sudah dibawa oleh peserta kemudian disucikan oleh pemangku setempat. Setelah pensucian dengan memercikan air suci yang disebut Tirtha, barulah persembahyangan dimulai. Perlu Anda ketahui, untuk menjaga kekhusyukkan biasanya wisatawan yang datang dilarang meliput. Anda tidak perlu khawatir karena bagian yang dilarang diliput hanyalah areal persembahyangannya saja. Jadi, wisatawan hanya diperbolehkan mengambil gambar dari luar tembok yang dikenal Panyengker atau tembok pagar pura. Ritual Mapeed ini memang sangat menarik perhatian wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Selain tempat pelaksanannya yang indah dengan hamparan sawah yang mengelilinginya, Mapeed ini memang sangat unik dan menarik untuk Anda saksikan. - See more at: http://www.griyawisata.com/tour--travel-services/asia/artikel/keunikan-tradisi-mapeed-iring-iringan-unik-membawa-sesajen-khas-bali#sthash.ZZGk6S7R.dpuf