Pages

Monday, October 7, 2013

Pendakian Spiritual Menuju Pura Lempuyang

Jalan menuju Pura Sad Kahyangan Lempuyang menanjak dan berkelok-kelok.

Sampai di tempat parkir pura, hawa yang begitu sejuk menyambut seolah melepas penatnya perjalanan. Petualangan menuju pura baru saja akan dimulai. Sementara sibuk menyiapkan peralatan sembahyang, saya tidak lupa menyiapkan sebotol air mineral. Perjalanan pasti akan sangat melelahkan. Namun, satu hal yang mesti diiingat, “katanya” ketika  dalam pendakian menuju pura tak boleh bilang capek.
Logis saja. Ketika berpikir perjalanan melelahkan, masih jauh atau takkan sampai-sampai, maka para penangkil (umat yang akan bersembahyang di pura) akan menjadi semakin lelah dan kurang bersemangat.
Menapaki jalan aspal menanjak yang agak kasar, langkah-langkah kaki terasa berat. Ojek-ojek pun berkerumunan memburu para penangkil yang mungkin merasa kelelahan ataupun malas untuk jalan kaki.
Tiba di pura pertama yaitu Pura Penataran. Tangga-tangga menjulang tinggi menyambut kehadiran para penangkil. Namun, ketika sampai di Nista Mandala pura, woooww pemandangan begitu menakjubkan menunjukkan keelokannya. Diterangi sinar Sang Surya yang cerah, terlihat wilayah hutan Karangasem yang menghijau.
Bagian paling penting di sana bukan hutan itu tetapi gundukan tanah menjulang tinggi dibalut pepohonan hijau. Yaaa, itulah gunung tertinggi di Bali, Gunung Agung. Siapa pun yang memperoleh kesempatan menyaksikan pemandangan menakjubkan akan membuatnya berhenti sejenak, merasa kecil, bangga, syukur yang teramat sangat. Seolah bercengkerama dengan awan-awan yang mengelilinginya, Gunung Agung benar-benar menunjukkan keagungannya ketika itu.

 Semakin rendah di hadapan alam yang begitu besar, keangkuhan akan nikmat dan semaraknya duniawi serasa semakin memudar sembari menuntun menuju pemujaan kepada Hyang Widhi di Pura Penataran. Arsitektur yang megah, sebuah candi bentar dibalut batu putih seolah-olah memisahkan keduniawian para umat menuju Madya Mandala.
Bale memanjang di sisi kanan candi bentar dan sebuah bale yang lebih kecil di sisi kiri mempersilakan para penangkil yang merasa kelelahan untuk beristirahat  sejenak. Terlihat tiga buah kori putih menjulang tinggi dan beberapa ekor naga menjulur ke arah Madya Mandala.
Patung-patung denawa pun menyemarakkan megahnya gaya arsitektur di sini. Di pojok kiri berdiri sebuah bale kul-kul yang juga berwarna putih.
Menuju ke Utama Mandala tangga-tangga curam harus dilewati. Ketika menoleh ke belakang. Kemegahan Gunung Agung seolah mendorong dan menyemangati dari belakang. Dan sekali lagi siapa pun yang kembali menoleh ke arah barat akan berkata, “Waaaahhh, terlalu menakjubkan.”
Beberapa pelinggih berjejer di sebelah timur dan lebih sedikit di bagian utara. Beberapa berbentuk padmasana seperti pada umumnya. Seorang pemangku melakukan pemujaan, pemandangan yang sangat biasa kita saksikan di pura-pura.
Tetapi kali ini, persembahyangan dilakukan beberapa ratus meter di atas permukaan laut, kesempatan yang sangat jarang. Tenang, hening dan khusyuk.
Ketika selesai melakukan persembahyangn, wangsuhpada yang dingin sedikit akan mengejutkan badan. Menuju ke pura selanjutnya yaitu pura Telaga Mas, jalan aspal yang menanjak kembali mengiringi perjalanan.
 Warung-warung berjejeran di sepanjang jalan menuju tempat persembahyangan. Lebih enak jika santai sejenak, menikmati air mineral seraya menikmati keindahan alam alami. Menghela napas panjang sebelum menghaturkan bakti.
Jika beruntung dapat dijumpai beberapa monyet liar bergelantungan di dahan pohon. Mereka akan membuat keriuhan kecil. Lucu dan agak menakutkan, tapi cukup menghibur, dalam helaan napas tak teratur.
Suasana hening sejenak ketika semua terkonsentrasi pada satu, Hyang Widhi, diiringi gema suara genta, dan puja-puja mantra. Air suci pun dipercikan ketika persembahyangan telah usai. Ini baru seperlima dari perjalanan, dan jalanan becek denagn medan yang lebih berat masih tersedia di depan.
Selanjutnya saya melakukan persembahyangan di dua buah pura yang tak terlalu luas. Saya lupa nama puranya karena tak ada tulisan atau papan nama di depan pura. Itu tentu tak menjadi masalah, yang jelas sujud bakti yang ikhlas kepada-Nya.
Dalam perjalanan selanjutnya menuju pura Pasar Agung, tangga-tangga yang berjejer rapi membentuk irama menunggu untuk dilewati. Untungnya, ada pegangan besi yang membantu. Selalu ada warung ataupun pedagang asongan yang duduk-duduk di samping penangkil seolah menanti para penangkil haus atau bahkan lapar, di tengah perjalanan ini.
Satu buah pelinggih berbentuk padmasana berwarna putih terdapat di sini. Walaupun tak ada pemisah atau pagar yang memisahkan pura ini dengan jalan menuju Pura Luhur suasana persembahyangn tetap berlangsung dengan khusuk. Air wangsuhpada pun terasa semakin dingin saja.
Kini jalan menuju Pura Luhur kondisinya berbeda dengan jalan-jalan yang dilewati tadi. Lebih nyaman untuk berjalan karena ada batu-batu tipis yang tertata rapi sehingga perjalanan terasa lebih ringan. Namun, tak tertinggal tangga-tangga menanjak yang membuat kaki makin terasa pegal.
Sebuah tugu kecil bertuliskan Pura Sad Kahyangan Lempuyang Luhur menyambut. Ini merupakan pura terakhir dan pura yang paling utama. Tak terlalu luas memang, tapi suasana yang dihadirkan di puncak ini pun semakin terasa begitu tenang.

Menghadap ke Barat tepat di depan Candi Bentar, ujung Gunung Agung yang menjulang tinggi terlihat semakin memesona. Persembahyangan dimulai, angin puncak yang mendesir menyapa saraf-saraf yang semakin letih, tak dapat disangkal lagi inilah hawa sejuk istana Hyang Gni Jaya.
Terdapat dua buah pelinggih menghadap ke barat. Bentuknya hampir sama dengan pelinggih yang terdapat di Pura Pasar Agung, dan di Timur Laut terdapat Padmasana yang lebih tinggi. Uniknya di utama mandala pura ini tumbuh bambu yang di dalamnya terdapat air yang dipergunakan sebgai wangsuhpada. Adapun beberapa masyarakat yang nunas air suci ini untuk dibawa pulang.
Sungguh pendakian menakjubkan. Perjalanan begitu panjang dan melelahkan terhapus sudah oleh keindahan alam yang sulit akan ditemui di mana pun. Hal terpenting pencarian akan makna diri dan pendakian spiritual yang mewujudkan bakti umat ke hadapan yang satu Ida Sang Hyang Widhi Wasa

Tuesday, October 1, 2013

Tata Cara Melukat

















Pura Telaga Waja, Desa Kendran, Tegalalang.

Trayas trimsad devatas
Jugupur apsu-antah
[Atharva Veda XIX.27.10]

- Tiga-puluh-tiga [jumlahnya] dewata ada dalam air suci di alam dan melindungi umat manusia.


Keseluruhan alam semesta ini adalah rangkaian samudera energi [Prakriti] yang maha luas. Rig Veda menyebutkan, “Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” [dari materi asalnya energi dan dari energi asalnya materi]. Ini teori yang sama dengan teori E=mc2 yang ditulis oleh Einstein.  Pohon, batu, awan, gunung, dll, semuanya adalah serangkaian energi yang berwujud materi. Tubuh dan pikiran kita-pun juga serangkaian energi. Kita makan dan minum adalah manifestasi sederhana dari merubah materi [makanan dan minuman] menjadi energi.

Banyak orang yang bertanya-tanya mengapa perasaan mereka tidak tentram, gelisah, mudah marah, mudah mengantuk, mudah lelah, sakit kepala, mimpi-mimpi intens, sakit-sakitan, merasa kacau, dll. Ini semua disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan aliran energi dalam tubuh kita, dimana potensi energi untuk semua hal itu ada dalam diri kita. Sehingga kita perlu mencerai-beraikan energi-energi negatif yang menghambat di dalam diri kita melalui bantuan energi-energi alam semesta yang suci.

Melukat adalah salah satu ciri khas spiritualisme Hindu. Sebab melukat telah ada sejak jaman Veda, dimana dalam Veda sendiri tentang melukat ada dibahas dalam belasan sloka. Tapi dalam agama lain juga ada, seperti misalnya dalam tata cara Buddha di Tibet dan Kamboja.  Melukat adalah menerima pembersihan dan penyembuhan langsung dari Ibu pertiwi dan Bapak alam semesta. Medianya adalah air, karena air di alam berfungsi sebagai media penghantar dan sekaligus sumber vibrasi energi suci alam semesta yang sangat baik. Energi-energi negatif yang menghambat di dalam diri kita dicerai-beraikan, untuk kemudian diselaraskan dengan energi alam semesta yang suci. Fenomena ketidakseimbangan aliran energi ini sendiri bisa dideteksi sejak awal mula sekali, melalui kondisi kesehatan kita dan bagaimana riak-riak emosi dan perasaan kita sendiri.

Dalam Veda disebutkan bahwa tubuh dan pikiran kita ini sebuah sistem [bhuana alit] yang merupakan bagian dari maha-sistem [alam semesta/bhuana agung]. Semuanya saling mempengaruhi satu sama lain, melalui vibrasi-vibrasi yang tidak bisa kita lihat dengan mata, yang disebut vibrasi kosmik. Energi suci yang ada di alam semesta dapat mentransformasi kecenderungan negatif di dalam lapisan tubuh kita menjadi positif.

Di berbagai belahan dunia, "purification bath" atau melukat selalu dilakukan langsung berinteraksi dengan alam, agar alam semesta yang melakukan pemurnian. Tapi kalau di Bali ada juga melukat dilaksanakan melalui perantara oleh pandita, pemangku atau orang-orang tertentu seperti balian, dasaran, dll. Akan tetapi melukat seperti itu sangatlah ditentukan oleh tingkat kesiddhian dan kebersihan bathin orang yang melakukan penglukatan tersebut. Dan kita tidak tahu. Yang terbaik tetaplah pembersihan dan penyucian ini dilakukan langsung oleh alam semesta, karena alam semesta memiliki sifat memurnikan.

FAKTOR YANG MENENTUKAN

Ada empat faktor yang menentukan di dalam pelaksanaan melukat, yaitu :

1. Kebersihan bathin dan keseharian kita sendiri.

Analogi yang mungkin mendekati untuk bisa menjelaskan adalah : pikiran dan badan kita ini ibarat gelas yang akan menampung energi alam dan energi alam ibarat air yang akan mengisi gelas tersebut. Semakin bersih pikiran kita dari sad ripu, semakin besar ”gelas-nya”, sehingga semakin banyak energi suci alam yang bisa ”ditampung” dan hasilnya tentu semakin baik.

Tapi jangan khawatir bagi orang yang merasa bathin dan kesehariannya kurang bersih. Bagi orang yang tidak-tenang, gelisah, banyak marah, banyak benci, penuh nafsu, dll, justru melukat bisa sangat membantu menetralisir energi-energi negatif di dalam diri kita. Tapi dengan catatan hal ini harus dilakukan dengan benar dan rutin, sehingga melukat dapat menjadi hal yang sangat membantu meningkatkan pertumbuhan [evolusi] jiwa kita.

2. Lokasi.

Upahvare girinam samghate ca
Nadinam, dhiya vipro ajayata
[Rig Veda VIII.6.28]

-Di tempat-tempat yang hening, di gunung-gunung [daerah pegunungan] pada pertemuan dua buah sungai [campuhan], disanalah para maharsi mendapatkan pemikiran yang jernih [suci].

Tam u sucim sucayo didivansam
Apam napatam parithasthur apah
[Rig Veda II.35.3].

-Air suci murni yang mengalir, baik dari mata air maupun dari laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan.

Lokasi melukat sangatlah penting untuk kita perhatikan, baik secara niskala maupun sekala. Melukat harus dilaksanakan pada tiga lokasi titik air di alam yang terbaik, yaitu : sumber mata air dimana dijadikan tempat suci [misalnya : beji, pathirtan, dll], sungai suci atau pada campuhan [titik pertemuan dua buah sungai atau lebih] tertentu atau bisa juga di pantai [laut]. Lokasi-lokasi seperti ini umumnya memiliki vibrasi positif yang sangat kuat.

Ada dua hal yang sebaiknya kita perhatikan :

Secara niskala : sumber mata air, campuhan atau pantai tempat melukat, selayaknya dipilih yang memiliki vibrasi energi alam yang kuat. Akan tetapi tentunya hal ini tidak bisa dilihat oleh orang biasa secara kasat mata, hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang mata bathinnya sudah terbuka. Tapi seandainya kita orang biasa yang tidak tahu caranya, kita bisa mencoba berbagai tempat melukat terlebih dahulu. Lalu kita bisa memastikannya dengan merasakannya sendiri, lokasi mana yang paling bisa membuat bathin kita menjadi jernih dan sejuk.

Secara sekala : sumber mata air, campuhan atau pantai tempat melukat, harus memiliki air yang bersih atau jernih dan tidak tercemar. Karena hal ini juga ikut mempengaruhi kualitas air sebagai media perantara.




















Pura Mangening, Tampaksiring.

3. Tehnik.

Di bagian penjelasan tentang tehnik ini ada dua hal yang sebaiknya menjadi perhatian kita.

- Pertama : persembahyangan, sebelum melukat maupun setelah melukat.

Dimanapun kita melukat, kita sembahyang dahulu disana sebelum melukat. Kalau anda punya pejati bagus, tapi kalau tidak ada pejati dengan bekal satu canang dan dupa saja sudah cukup. Seandainya juga tidak ada canang dan dupa, bisa kita gantikan dengan mempersembahkan Gayatri Mantra.

Persembahyangan permohonan penyucian sebelum melukat sangat penting, karena kalau diberkahi, kualitas kesucian air akan meningkat tajam. Kita mohon kepada Hyang Acintya dan dewa-dewi yang berstana disana, agar melalui penglukatan tersebut badan dan pikiran kita dibersihkan dari segala energi negatif. Khusus untuk di laut, kita mohonkan kepada Hyang Acintya dan Hyang Baruna [Dewa Varuna].

Kemudian, setelah selesai melukat, kita kembali sembahyang mengucapkan terimakasih. Lebih baik lagi kalau dilanjutkan dengan meditasi.

- Kedua : Tanpa busana.

Ada dua latar belakang mengapa kita sebaiknya melukat tanpa sehelai benangpun.

-1. Karena sesungguhnya ketelanjangan sempurna memiliki energi pembebasan yang sangat besar-.

Ketika kita tanpa sehelai benang-pun, disana terjadi banyak sekali pelepasan energi-energi negatif yang menekan dan membebani bathin kita. Itulah rahasia-nya mengapa dalam berbagai tradisi spiritual hal ini banyak dilakukan. Misalnya di Jawa kita mengenal Tapa Wuda [meditasi yang dilakukan tanpa busana]. Juga di India para yogi himalaya [naga sadhu] dari salah satu sekte Shiva-Tantra, mahayogi bernama Mahavira dan para pertapa-pendeta dari Agama Jain, mereka semua bahkan terus menerus sepanjang waktu kemana-mana tanpa sehelai benangpun. Ketelanjangan abadi mereka tentu saja bukan porno, terutama karena porno hanyalah sebentuk pemikiran, akan tetapi sebaliknya karena dari ketelanjangan terdapat energi pembebasan yang sangat besar. Energi ini oleh alam semesta akan ditransformasikan menjadi energi positif bagi badan [menguatkan dan menyembuhkan badan fisik] dan energi positif bagi pikiran [membersihkan bathin dari kemarahan, dendam, iri hati, rasa inguh, kebencian dan pikiran gelap lainnya].

Dalam teks-teks Hindu ini disebut "avadhuta digambara", yang berarti "berpakaian langit [tanpa busana] yang suci". Tanpa penghalang apapun melekat di badan, sebagai penyatuan kosmik dengan keseluruhan alam semesta yang tak terukur batas-batasnya. Serta melepaskan banyak energi-energi negatif yang menekan bathin kita. Dari rasa takut menuju ketabahan, dari kemarahan menuju welas asih, dari kebencian menuju perdamaian, dari keinginan menuju pelepasan, dari kegelapan menuju penerangan. Dimana semuanya adalah satu manunggal tanpa batas. Kita bukanlah tubuh ini dan pikiran ini, melainkan semuanya adalah satu manunggal tanpa batas dalam kemahasucian semesta.

-2. Karena seluruh bagian dari badan, termasuk bagian yang tersembunyi, semuanya harus berinteraksi langsung dengan air tanpa halangan. Sehingga proses pembersihan dapat terjadi sempurna

Seperti halnya alam semesta [bhuana agung], badan kita [bhuana alit] juga terbagi menjadi Tri Loka [tiga bagian]. Bhur Loka pada badan kita adalah bagian pusar ke bawah sampai ujung kaki. Bvah Loka pada badan kita adalah bagian leher ke bawah sampai pusar. Svah Loka pada badan kita adalah bagian leher keatas sampai ujung kepala. Di masing-masing bagian tersebut terdapat kekacauan simpul-simpul energi negatif yang ketiganya saling berhubungan satu sama lain. Pada Svah Loka titik pusat simpul energi negatif-nya terletak pada wilayah dahi, yang merupakan simpul energi dari kecenderungan pikiran atau persepsi pikiran kita. Pada Bvah Loka titik pusat simpul energi negatif-nya terletak pada wilayah dada, yang merupakan simpul energi dari emosi dan perasaan kita, seperti misalnya : rasa sedih, rasa senang, rasa marah, rasa kecewa, dll. Pada Bhur Loka titik pusat simpul energi negatif-nya terletak pada wilayah antara kemaluan dan dubur, yang merupakan simpul energi dari kecenderungan binatang kita, seperti misalnya : tidak ada sifat welas asih, tega, kejam, serakah, mementingkan diri sendiri, penuh nafsu keinginan, suka berkelahi, bertengkar, iri hati, dll.

Sangat penting dalam proses pembersihan ini, seluruh bagian dari badan, termasuk bagian yang tersembunyi, semuanya harus berinteraksi langsung dengan air tanpa halangan. Itulah sebabnya dilakukan tanpa busana. Karena hanya dengan badan yang sepenuhnya terbuka, disana seluruh kekacauan simpul-simpul energi negatif yang ada pada ketiga loka pada lapisan-lapisan badan kita akan dibersihkan secara menyeluruh. Sehingga proses pembersihan ini efektif, dimana energi suci alam semesta terdistribusi dengan baik, dapat lebur menyatu dengan keseluruhan lapisan badan fisik dan lapisan badan halus kita.


Para pertapa asketik di India bersiap-siap melukat di Sungai Gangga.

Saat akan memulai melukat ucapkan mantra ini, tujukan mantra ini kepada air sambil memandang air yang mengalir itu :

Apo adyanv acarisam rasena sam agasmahi
Payasvan agna a gahi sam prayaya sam ayusa
[Rig Veda I.23.23]

-Sekarang kami menerjunkan diri ke dalam air ini, kami meleburkan diri manunggal dengan kekuatan yang mewujudkan air ini. Semoga kekuatan suci yang tersembunyi dalam air ini, menyucikan dan memberikan kekuatan suci kepada kami-.

Tepat sebelum melukat ucapkan mantra ini, tujukan mantra ini kepada air sambil memandang air yang mengalir itu :

Apo asman matarah sundhayantu
Ghrtena no ghrtapvah punantu
Visvam hi ripram pravahanti devir
Ud id abhyah sucir a puta emi
[Rig Veda X.17.10]

- Semoga air suci berkah alam semesta ini menyucikan diri kami sehingga kami bercahaya gemerlapan. Semoga diri kami dibersihkan oleh air suci ini. Semoga air suci ini melenyapkan segala kekotoran kami. Kami akan bangkit [dari kegelapan] dan memperoleh kesucian darinya-.

Saat melukat ucapkan mantram ini : Om manah sarira parisudhamàm swàha [semoga badan fisik dan badan pikiran hamba menjadi suci]. Kalau melukat di mata air, ucapkan mantram tersebut di setiap pancuran [masing-masing] sebelum kita membasahi rambut, membersihkan seluruh bagian badan dan sebelum meminum airnya tiga kali. Kalau melukat di campuhan atau laut, ucapkan mantram tersebut sama juga sebelum kita membersihkan diri, tapi tidak usah meminum airnya. Lebih baik lagi kalau proses melukat ini [terutama di mata air dan campuhan], kita lakukan juga sambil mandi dan keramas [dengan sabun dan shampoo]. Sama dengan apa yang tertulis dalam Veda :

Jalasena–abhi sincata
Jalasena-upa sincata
[Atharva Veda VI.57.2]

-Mandilah seperti biasa dan basahi seluruh bagian tubuh [terkena air langsung] yang dipengaruhi [penyakit dan energi negatif] di dalam air suci-.

4. Waktu.

Sebenarnya waktu untuk melukat baik dan bisa dilakukan kapan saja setiap saat. Akan tetapi pada waktu-waktu tertentu vibrasi kosmik alam semesta lebih kuat dibandingkan hari-hari lainnya. Veda menyebutkan bahwa matahari mempengaruhi kepribadian kita dan bulan mempengaruhi pikiran kita. Kalender Bali dan Kalender Jawa [dengan dewasa ayu / hari baik-nya] sebenarnya adalah buku petunjuk yang selaras dengan Veda, yang diwariskan oleh tetua kita untuk kita semua, untuk bisa membantu kita mengenali hari-hari mana saja yang memiliki vibrasi alam yang kuat untuk kegiatan spiritual tertentu.

Salah satu pemilihan waktu [dimana vibrasi alam kuat] untuk melukat yang disarankan adalah pada saat Purnama, Purwani [satu hari sebelum dan sesudah purnama], Ngembak Geni [sehari setelah Nyepi], Banyu Pinaruh [sehari setelah hari raya Saraswati] dan Tilem [bulan mati], dll.

KESALAHPAHAMAN TENTANG MELUKAT

Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa melukat dapat menghapus dosa atau menghapus karma buruk. Pendapat ini kurang tepat, kalau dilakukan dengan cara yang tepat sesuai penjelasan diatas melukat mungkin bisa menghapus sebagian kecil karma buruk, tapi hukum karma hanya bisa berhenti [terhapus semua] ketika kita sudah mengalami moksha [pembebasan sempurna].

Melukat lebih kepada proses untuk membersihkan kekacauan simpul-simpul energi-energi negatif dari dalam diri kita dengan bantuan alam semesta. Sehingga lapisan-lapisan badan kita dibersihkan menjadi lebih segar-seimbang dan dan pikiran kita juga dibersihkan bertransformasi menjadi lebih baik dan terang. Terutama bila kita melakukannya secara tekun dan rutin, misalnya rutin setiap purnama dan tilem dan harus dilakukan dengan cara yang tepat sesuai penjelasan diatas.

Sebenarnya setiap hari para dewa-dewi dan alam semesta ingin menuangkan air suci yang berkelimpahan ke bathin kita. Sayangnya kebanyakan orang tidak sadar dan tidak nyambung dengan hal ini karena kebanyakan orang [ibarat gelas], gelas jiwa dan badannya ditinggikan dan ada sebagian orang gelas jiwa dan badannya ditutup. Ketika gelasnya direndahkan dan dibuka, maka disanalah air suci semesta yang memurnikan diri bisa masuk ke dalam jiwa.

( sumber : Rumah Dharma – Hindu Indonesia )


**Bagi saudara sedharma yg ingin melakukan perjalanan suci (tirtayatra) atau melakukan penglukatan ke beji-beji di Bali, silahkan hubungi kami di nomor 081338541173 / 081934338855. Kami siap menjemput ke alamat saudara dan mengantar kembali ke alamat saudara. Rahayu :-)